Jumat, 10 Juni 2011

Home » » Sebuah Penantian

Sebuah Penantian

 image Sesosok tubuh mungil di antara tiupan angin kecil yang melambaikan kerudungnya yang memanjang ke belakang, itulah ingatan saya tentang mereka, dua orang sahabat kuliah saya. Aktifitas dan lingkungan keseharian mereka mungkin salah satu faktor yang membuat saya bergumam kagum. Mereka hidup dalam lingkungan kemiskinan serta aktivitas misionaris. Disana berkumpul orang-orang dengan karakter yang beragam, serta permasalahan hidup yang kompleks : pengangguran, gaya hidup bebas, aqidah (tarikan misionaris) dan sebagainya. Saya sendiri tak membayangkan dapat hidup dalam suasana seperti. Meski saya bukan orang berada dan kaya, tetapi saya hidup berkecukupan dan tak kurang suatu apapun dengan limpahan kasih sayang dari kakek, nenek, ortu dan saudara-saudara. Yang lebih penting kedua teman saya, tantangan menjadi orang baik dilingkungan seperti ini jauh lebih besar dibanding tantangan di lingkungan yang selama ini saya hadapi yaitu lingkungan lurus-lurus saja dan selalu dalam pengawasan keluarga. Dan saya menyaksikan dua orang sahabat saya tetap bisa menjadi seorang muslimah yang baik, yang selalu berusaha memperbaiki dirinya sendiri dan orang lain. Masya Allah….saya harus banyak belajar dari kedua sahabat saya itu.
Saya selalu teringat dengan senyum mereka, yang mudah menebar senyum untuk sesama. Senyum itu tetap saja mengembang, kerut kulit dipojok matanya menjadi jelas tergambar meskipun beban lingkungan itu tak sebarapa jika dibandingkan dengan beban dirinya. Karena mereka sampai saat ini masih saja sendiri, pada saat usianya menginjak usia ketiga puluhan.
Saya yakin, dunia seperti ini tidak hanya dialami oleh dua orang perempuan sahabat saya itu (saya sendiri belum menikah). Ada sederet perempuan yang saat ini berada dalam antrian panjang. Mereka berada pada masa penantian tanpa tahu kapan akan berujung. Dan antrian itu akan semakin panjang seiring dengan berjalannya waktu. Sementara kewajiban menikah, kewajiban membangun generasi, dan kewajiban menegakkan keluarga yang islami tetap menjadi kewajiban yang harus diwujudkan. Bagaimana kewajiban ini tidak kalah penting dari dua kewajiban asasi : memperbaiki diri sendiri dan menyeru orang lain kepada jalan Allah.
Menikah, bagi mereka semata karena keinginan untuk menyempurnakan perintah Allah SWT sebagai bagian dari tarbiyah yang akan mereka jalani. Tapi, mungkin Allah memberi media tarbiyah yang lain untuk mereka. Saya kira penantian pun menjadi bagian dari tarbiyah. Allah menguji kualitas iman mereka. Toh kepasrahan akan berakhir dengan kebahagiaan meski tak dinikmati di dunia.
Ingat benar saya dengan kata seorang ustadz “Pernikahan itu adalah satu bagian dari tahapan dakwah yang akan dijalani oleh setiap manusia. Tak usah resah, jika tahapan itu sudah sampai masanya, ia pun akan datang. "
Saya mengenang pesan itu sebagai semangat dan motivasi, meski tak selalu mudah mencernanya sampai kerelung hati, apalagi untuk mereka yang telah dikejar usia (waduh kayaknya saya juga neh….). Kadang keresahan dan kegelisahan itu menyiksa, apalagi jika cercaan dan komentar lingkungan datang bertubi-tubi. Mereka dibilang perawan tua, dibilang sok suci karena tak mau menerima sembarang orang (hal yang wajar seh…, setiap orang akan mendambakan pendamping yang diennya bagus, tidak asal kaya, cakep, pinter atau apalah namanya). Mereka dibilang penyebab sakitnya ibu atau keluarga, dibilang aib…….. dan entah dengan kata apalagi. Semua sudah cukup berat buat mereka rasakan.
Kadang perasaan pun tak cukup ter-menej dengan baik, rasa tak enak minta biaya ke orang tua meskipun sebenarnya mereka masih menjadi tanggung jawab orang tua. Atau malah bukan karena rasa tak enak, kadang orang tua pun dengan halus mengatakan, “Bukan tak sayang pada anak, tapi ibu dan bapak ikut senang kalau kamu bisa mandiri.” Akhirnya kerja keras pun harus ditempuhnya, untuk sesuap nasi, satu stell baju, selembar kerudung, biaya kost, infaq, untuk ongkos bus kota/lin, terkadang mereka berkeinginan memberi sedikit hasilnya kepada orang tua meski mereka belum mampu. Terkadang mereka dengan makan hanya seadanya atau berpuasa senin kamis (dengan niat ikhlas ibadah sekalian) Seperti dua sahabat saya. Salut, hanya itu yang ingin saya ungkapkan. Sementara saya sendiri merasa kerja dan hasil jerih payah kebanyakan untuk senang-senang, jalan-jalan, beli baju ini beli itu, atau kebutuhan yang belum tentu saya butuhkan. Saya terkadang malu sendiri melihat sahabat saya yang gigih, saya harus belajar kehidupan ini dengan berkaca dari sahabat saya ini. Mereka dua sahabat saya ini bekerja sebagai pengajar Taman Kanak Kanak Terpadu, kerja keras dari pagi samapai siang dan nambah-nambah cari penghasilan sampingan untuk menambah gaji pengajar yang tidak seberapa untuk biaya hidup.
Uuukh, saya malu dengan mereka, membandingkan saya dengan gaji yang cukup lumayan menurut ukuran saya sendiri dengan mengajar 2 sekolah yang cukup ternama. Meski saya juga berangkat pagi pulang sore tapi masih sempat mampir-mampir ke mall-mall sebagai hobby dan bisa dibayangkan terkadang sampai rumah pulang sudah malam (dengan alasan biar gak boring dan hidup harus enjoy).
Saya selalu membayangkan perasaan mereka. Perasaan perih yang setiap saat yang mau tidak mau harus dijalani. Adiknya menikah mendahuluinya atau sudah menimang bayi mungil dan memanggilnya Budhe, belum lagi melihat sikap adik ipar yang kadang remeh dan tidak menghargai, atau saat adik-adik angkatan satu persatu bergantian mengulurkan selembar undangan pernikahan, lalu dengan keikhlasan membungkus kado dan datang menyaksikan kembang senyum sang pengantin. Mereka tidak bersedih hati melainkan turut berbahagia.
Dan mereka kembali pulang dengan memupuk semangat memperbaiki diennya, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Wanita dinikahi karena empat hal utama : hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu memilih agamanya, agar kamu bahagia.”
Dengan semangat dan pesan-pesan para ulama, bahwa menikah tidak hanya mempertemukan seorang laki-laki dan perempuan, menikah adalah pertemuan dakwah, untuk membangun keluarga muslim yang dilandasi taqwa, keislaman dan memahami tugas risalah hidupnya, menjadikan pasangan hidupnya sebagai sahabat, yang selalu mengingatkan bila lupa, memberi dorongan, memelihara diri ketika suami tidak di rumah, dan lain-lainnya deh…
Saya sering mendengar suatu hal meskipun bukan dari dua sahabat saya itu. Itulah ketika fenomena pernikahan antara sesama aktivis dalam satu bidang atau organisasi, atau mendapati adik-adik perempuan yang lebih muda darinya menikah lebih cepat dengan laki-laki pilihannya. Sementara mereka masih gigit jari dalam antrian panjang (betul gak seh……). Dalam kondisi seperti itu mereka sering berpikir, “Mungkinkah para laki-laki itu takut dengan perempuan-perempuan seperti kami ?”. Semakin perih hati mereka mengingat ini semua. Kebanggaan Rasulullah Saw saat bertemu dengan ibunda Khadijah yang lebih tua lima belas tahun dari beliau takkan pernah kita jumpai lagi. Dalam kondisi seperti itu mereka berpikir , Mungkinkah para laki-laki itu mengedepankan kriteria dien yang bagus ?” Mereka menyadari dan bisa memaklumi selera keinginan setiap manusia berbeda, seperti meraka pun memiliki selera dalam memilih laki-laki.
Mungkin kebanggaan Zaid bin Haritsah saat menyambut seruan Nabi Muhammad Saw “Siapa yang ingin menikah dengan seorang perempuan penghuni surga ?” Wanita yang dimaksud adalah Ummu Aiman, seorang perempuan pengasuh Nabi Muhammad Saw yang berpenampilan sederhana : berkulit hitam, serta berhidung pesek, dan Zaid menyambutnya dengan kebanggaan yang luar biasa setelah bercerai dengan Zaenab binti Jahsy yang berasal dari kalangan bangsawan.
Mungkinkah orientasi laki-laki dalam memilih jodoh telah bergeser. Orientasi ketaqwaan berganti menjadi keduniawian……. ?
saya hanya bisa memupuk doa-doa untuk kesabaran dan pahala mereka. Maaf bagi teman-temanku yang beberapa kisah hidupnya saya tuangkan dalam sebuah catatan, saya hanya ingin pengalaman hidup kalian bisa buat perenungan dan pelajaran hidup bagi para laki-laki dan perempuan dalam memilih pasangan. Dan saya ingin mengembangkan keoptimisan bagi mereka yang belum memiliki pasangan. Dan yang pasti di hari ibu ini saya ingin persembahkan bagi para perempuan-perempuan semua.

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Populer

 
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

mau pinter

membuat blog atau website? klik saja di sini

© Copyright 2011. All Right Reserved by Pondok Pengetahuan | Designed by Free Blogger Templates | Premium Wordpress Themes | Coupons Code | Free Icons