Sabtu, 28 November 2009

Home » » Tangis Paling Pedih

Tangis Paling Pedih

Suatu hari di siang bolong, pintu rumah kost teman saya diketuk orang. Suara seorang wanita yang tak merdu lagi, piker saya. Orang cari sumbangan, piker saya. Tidak su’udzhan (berburuk sangka)…memang seperti itu.

Saya buka pintu. Seorang wanita tua, sanagat tua. Telah duduk dikursi teras dengan plastic hitam yang tak rapi ditangannya. “Monggo, Mbah.” Sapa saya sambil menemaninya duduk di kursi teras.
Bla…bla…bla…Mbah tua itu pun menyampaikan maksud kedatangannya. Tak meleset dugaan saya, ia dari yayasan social meminta sumbangan dengan balik jasa pisau (huuu, sangar) yang ada di plastiknya.
Saya pun tak banyak komentar, langsung menulis di kertas yang tak rapi dengan bolpoin yang dibawanya, kasih uang dan terima satu pisau.
“Mau minum, Mbah ?” kata saya saat sadar siang itu panas sekali.
Mbah itu menolak dengan menunjukkan botol kecil yang tak bersih lagi, semakin simpati saya melihatnya.
“Istirahat dulu Mbah,” kata saya lagi.

Ia terdiam beberapa saat, saya heran koq nggak beranjak juga, dan tiba-tiba….
Mbah itu menangis, air bening mulai merembes membasahi kelopak matanya. Saya mulai berpikir yang nggak-nggak. Ada yang salahkah pada diri saya ? Kenapa Mbah ini ?
Mengalir lancer Mbah itu bercerita tentang penderitaan dan tekanan batinnya karena sikap menantu dan anak laki-laki satu-satunya telah banyak menyakitinya dan bersikap kasar padanya. Ia tidak menemukan kesetiaan dari seorang menantu perempuan yang selama ini ia rindukan. Tiada lagi yang merawatnya karena anak lelakinya tak bias berbuat banyak.
Ia sebenarnya bukan orang tak mampu, ia punya rumah yang cukup layak untuk ditempati. Tapi ia memilih hidup bersama orang-orang yang tak mampu di yayasan social itu. Banyak anak jalanan, orang-orang terlantar. Mereka butuh uang untuk hidup, tapi beda dengan dirinya, ia butuh ketentraman.
Ada rasa haru yang melimpah di dada saya. Tangisnya semakin hebat dan suaranya tak bisa dikendalikan. Mbah itu menangis hebat mencurahkan perasaannya pada saya, beberapa orang yang saat itu menjadi tamu teman saya ikut keluar melihat saya dan Mbak itu. Saya sendiri bingung, gimana caranya biar Mbah itu bias menghentikan suara tangisnya.

Saya tak bisa berbuat banyak, dan saya pikir nggak banyak gunanya juga saya ngotot dan banyak kasih nasehat buatnya. Mau kasih uang juga saya pikir nggak bisa menyelesaikan masalah, toh Mbah tua itu nggak butuh banyak uang.

Saya memilih menjadi pendengar yang manis dengan harapan menggunung, semoga pertemuan itu bisa sedikit melepas bebannya. Lalu, diremasnya telapak tangan saya dengan bisikan lembut, “Besok kalau jadi menantu, yang baik dan setia sama mertua ya, Nak”!
Saya hanya tersenyum tipis dengan anggukan kecil saja. Dalam hati saya berdo’a semoga kesabaran senantiasa tersemat dihatinya dan saya yakin Allah akan memberikan balasan yang setimpal dengan kesabarannya itu (Amien).

Saya jadi ingat tulisan Sori Siregar dalam cerpennya yang dimuat di harian Republika : “Tangisan seorang ibu adalah tangisan paling pedih dari sebuah penderitaan”. Ungkapan itu saat ini sangat saya benarkan, ternyata memang pedih sekali sebagai pendengar saya bias merasakan, apalgi bila sekalipun ibu melahirkan seorang pelaku.

Ibu dan air mata, dua hal yang tidak bias dipisahkan, dalam kebahagiaan ibu melahirkan air mata. Dalam kedihan ibu meneteskan air mata, dalam kejengkelan sekalipun ibu melahirkan air mata.
Dari Abdullah bin ‘Amr, katanya, “seorang lelaki dating kepada Rosulullah SAW lalu berkata, “wahai Rosulullah, aku dating berjihat bersamamu karena aku ingin mencari ridha Allah di hari kiamat, tapi aku dating kesini dengan meninggalkan ibu bapakku dalam keadaan menangis. “Sabda Rasulullah,”Pulanglah kepada mereka, jadikan mereka tertawa seperti tadi engkau menjadikannya menangis, (HR Ibnu Majah)
Tentu saja Rosulullah berkata seperti itu karena pada saat itu hukum jihad menjadi wajib kifayah karena telah ada sejumlah kaum muslimin yang mencukupi kewajiban itu. Dan tentunya kita tidak akan mundur hanya untuk menemui orang tua kita pada saat jihad telah menjadi wajib ‘ain karena setiap orang harus maju ke medan jihad, seperti telah disampaikan Dr. Abdullah Azam, pada saat jihad telah menjadi wajib ‘ain maka tidak ada keharusan meminta izin kepada pihak-pihak terkait termasuk izin orang tua (ini yang terkadang disalah artikan/salah kaprah oleh kelompok-kelompok radikal tertentu saat ini atas nama kebenaran).

Terlepas dari wajib ‘ain atau wajib kifayah, jihad tetap menjadi sesuatu yang mulia dan air mata yang lahir karena kepergian jihad yang mulia saja telah membuat Rosulullah SAW memerintahkan pulang, apalagi air mata yang lahir untuk sebuah kesalahan, mungkin Rasulullah SAW akan berteriak lantang “Pulang…..!!!!”
Pulang untuk bersimpuh dan memohon maaf ampunan atas kesalahan, kekhilafan, dan kelalaian di kaki orang tua kita, ibu kita, bapak kita, juga untuk orang-orang yang telah dibuat menagis.


Catatan :
Wajib Kifayah : kewajiban yg jika telah ada yg mencukupi kewajiban itu maka
tdk ada kewajiban lain.
Wajib ‘Ain : kewajiban yg mutlak harus dilakukan setiap orang.

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Populer

 
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

mau pinter

membuat blog atau website? klik saja di sini

© Copyright 2011. All Right Reserved by Pondok Pengetahuan | Designed by Free Blogger Templates | Premium Wordpress Themes | Coupons Code | Free Icons